Khutbah I
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Kita sering mendengar dari berbagai literatur sejarah bahwa peradaban Islam yang dibawa Rasulullah ﷺ pertama kali lahir di tanah Makkah dalam konteks kebobrokan masyarakat Arab yang sangat parah. Fanatsime suku luar biasa kuat sehingga sering terjadi peperangan. Perempuan dilecehkan serendah-rendahnya, sampai sang ayah rela mengubur hidup-hidup bayi perempuannya. Prinsip-prinsip tauhid yang dibawa nabi-nabi terdahulu nyaris lenyap, berganti patung-patung yang diberhalakan.
Yang unik dari kondisi ini adalah: dalam kejahiliahan yang demikian akut, mengapa Allah tak langsung menurunkan azab-Nya, membinasakan manusia-manusia durhaka misalnya dengan sebuah bencana besar?
Allah malah mengutus manusia agung bernama Muhammad untuk melakukan
revolusi peradaban dengan jalan sangat bijak. Di sisi lain, kita
menengok suatu daerah yang kelihatannya “islami” namun justru
mendapatkan bencana alam: gempa bumi, tsunami, banjir, dan lain
sebagainya. Melihat fakta yang terlihat ganjil ini, mungkin timbul
pertanyaan, benarkah bencana alam itu adalah sebuah teguran, atau
benarkah teguran hanya berupa bencana alam?
Hadirin,
Dari
fakta-fakta inilah kita bisa merenung sejenak. Bukan kapasitas manusia
yang daif ini mengobral tuduhan bahwa bencana alam yang terjadi di
lokasi tertentu adalah teguran atau azab Allah. Jika setiap bencana alam
pasti merupakan azab dari Allah maka Arab era jahiliah mungkin lebih
berhak menerimanya, dan negeri-negeri Muslim yang kita dapati sekarang
lebih nyaman terhadap bencana. Tapi fakta-fakta yang kita dapati
sekarang justru sebaliknya.
Ada kenyataan ilmiah bahwa bencana
alam merupakan sebuah gejala natural biasa. Ia bisa ditelusuri
sebab-sebabnya secara konkret sehingga gempa bumi, tsunami, likuifaksi,
atau lainnya terjadi. Namun, banyak pula ayat Al-Qur’an dan hadits yang
menggambarkan bahwa bancana menjadi salah satu cara Allah memberikan
teguran. Bagaimana kita seharusnya bersikap?
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Seyogiannya
kita menempatkan diri secara proporsional. Mana sikap yang harus
diperuntukkan kepada orang lain dan mana yang harus diperuntukkan kepada
diri sendiri. Kepada orang lain, tak ada wewenang kita untuk memvonis
mereka yang menjadi korban bencana adalah orang-orang yang sedang kena
azab dari Allah. Mengeluarkan vonis semacam ini bisa jadi merupakan
keangkuhan karena tidak ada bukti apa pun yang bisa menjelaskan bahwa
bencana di lokasi tertentu pasti adalah azab Allah.
Kita bisa
mengetahui bencana yang menimpa kaum Nabi Luth adalah sebuah azab hanya
karena ada nash yang menerangkan hal itu. Di zaman tak ada lagi rasul
seperti sekarang ini, informasi rahasia seperti sekarang tidak bisa kita
dapatkan. Bahkan dalam hadits ada pernyataan bahwa orang yang meninggal
karena tenggelam dan tertimpa reruntuhan sebagai mati syahid. Dengan
demikian semakin tidak jelas apakah sebuah bencana benar-benar azab atau
bukan. Jangan-jangan sejumlah korban meninggal dunia akibat bencana
alam itu wafat dalam kondisi lebih baik dan terhormat ketimbang diri
kita nanti?
Dalam konteks seperti ini, yang paling tepat adalah mengembalikan status bencana kepada Allah ﷻ, sebagaimana bunyi ayat:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya:
“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn’ (sesungguhnya kita semua milik
Allah dan kepada Allah pula kita semua kembali).” (QS al-Baqarah:156)
Memaknai
bencana alam sebagai teguran hanya mungkin diperuntukkan kepada diri
sendiri. Artinya, bencana alam dapat menjadi wasilah untuk bermuhasabah
(introspeksi) terhadap seluruh praktik penghambaan kita kepada Allah.
Bencana mengandung penderitaan, dan dalam sebuah riwayat dinyatakan
bahwa penderitaan adalah di antara cara Allah menghapus dosa dan
kesalahan hamba-Nya. Jangan-jangan bencana alam teguran bagi diri kita
yang tengah diliputi kesombongan, hasud, tebar permusuhan, gemar
menyakiti orang lain, atau semacamnya?
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Dengan
membedakan mana sikap kepada orang lain dan mana sikap kepada diri
sendiri ini kita akan menjadi lebih bijak dalam merespons bencana alam.
Kepada korban, kita lebih sibuk untuk berempati, berdoa, dan menolong
semampu kita. Bukan mencaci-maki yang bisa menyinggung perasaan mereka
yang kini sudah menderita. Kepada diri sendiri, kita bisa lebih banyak
mencari kesalahan-kesalahan sendiri, beristighfar, dan berbenah untuk
menjadi pribadi yang lebih baik sebagai hamba Allah sejati.
Hadirin,
Yang
penting dicatat pula adalah bahwa teguran tidak hanya berupa bencana.
Orang sering salah persepsi bahwa teguran hanya berupa peristiwa yang
membuat orang menderita. Inilah salah satu pemicu kesombongan
orang-orang yang sedang bergelimang nikmat merasa baik-baik saja.
Padahal yang lebih gawat dari teguran bencana itu adalah teguran nikmat.
Dalam Islam, teguran yang kedua ini dikenal dengan istilah istidrâj,
yakni situasi yang dialami seseorang yang terlihat makin enak, makin
nyaman, atau makin sejahtera. Meski tampil sebagai kenikmatan namun
sejatinya sederet kondisi ini sebenarnya adalah jebakan. Istidraâ’
adalah perangkap Allah untuk hamba-Nya yang durhaka untuk kian
terjerumus ke dalam kegelapan.
Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam pernah berkata:
خِفْ
مِنْ وُجُوْدِ إِحْسَانِهِ إِلَيْكَ وَدَوَامِ إِسَاءَتِكَ مَعَهُ أَنْ
يَكُوْنَ ذَلِكَ اسْتِدْرَاجاً سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا
يَعْلَمُونَ
“Takutlah pada perlakuan baik Allah kepadamu di
tengah durhakamu yang terus-menerus terhadap-Nya. Karena, itu bisa jadi
sebuah istidrâj, seperti firman-Nya, ‘Kami meng-istidraj-kan mereka dari
jalan yang mereka tak ketahui’.”
Alih-alih mengajak kita untuk
menilai orang lain saat diri kita memperoleh rezeki atau nikmat,
pengarang al-Hikam ini justru menganjurkan kita untuk mengoreksi diri
sendiri. Kenikmatan, keamanan, keselamatan, atau kesejahteraan belum
tentu sebuah anugerah. Bisa jadi itu adalah musibah (teguran).
Jangan-jangan zona nyaman yang kita rasakan adalah siksa Allah kepada
hamba-Nya agar tak dapat merasakan dengan baik kedurhakaan-kedurhakaan
dirinya hingga kelak ia akan menerima azab yang lebih pedih. Nikmat
duniawi disegerakan, dan di saat bersamaan azab atas dosa-dosanya
ditangguhkan. Azab yang ditangguhkan berpotensi lebih berat karena
manusia bisa jadi terus-menerus menumpuk dosa akibat terlena dengan
gemerlap kelezatan duniawi yang ia alami. Na’ûdzubillâhi min dzâlik.
Betapa
banyak orang yang lulus dari ujian berupa bencana karena insaf, tobat,
dan berusaha memperbaiki diri. Tapi betapa banyak pula orang gagal
menjadi hamba yang baik karena mendapat ujian berupa nikmat: terbuai,
sombong, merasa tak punya kesalahan, menambah-nambah dosa tiap hari,
lalu kian terjerumus dalam kesesatan dan kedurhakaan. Wallahu a’lam bish
shawâb.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ
وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ
السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ
العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ
وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا
كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ
فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ
أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ
بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ
النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ
اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى
وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ
لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ
بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ
عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ
مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ
كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ
وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ
مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا
خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ
اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا
وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ
اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ
وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ
وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ
يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Dari sumber aslinya:
http://www.nu.or.id/post/read/97149/khutbah-jumat-yang-lebih-gawat-ketimbang-teguran-berupa-bencana (Alif Budi Luhur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar